Bahasa ilmiah ialah bahasa yang mendefinisikan secara tepat
istilah dan pengertian yang berkaitan dengan suatu penelitian, agar tidak menimbulkan kerancuan.
Contoh Bahasa ilmiah
Globalisasi Dan Budaya
Globalisasi
yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia,
termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya
pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh
adalah kebudayaan.
Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat
didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan
hasil kelakuan, dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional
kita. Oleh karena itu nilai-nilai berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau
psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.
Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa
tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran
orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan
seseorang adalah kesenian, yang merupakan bagian sistem dari kebudayaan bangsa
Indonesia. Aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki
kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya.Kesenian rakyat, salah satu
bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi.
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya
dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses
komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan
menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu
kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh negara-negara
maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki
dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju.
Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan
tertinggal dalam arus globalisai dalam berbagai bidang seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita. Wacana globalisasi sebagai
sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.
Komunikasi
dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.Kebudayaan
setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia
sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Dalam proses alami ini, setiap
bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru
sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Dalam
proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan
memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing.
Contoh di atas merupakan salah satu dari tulisan
ilmiah populer mengenai globalisasi dan budaya. Isi artikel tersebut sangat
mudah dipahami oleh masyarakat umum karena menggunakan bahasa sehari-hari bukan
bahasa-bahasa ilmiah yang jarang diketahui oleh semua orang pada umumnya. Oleh
karena itu kita sendiri dapat mengambil inti dari bacaan tersebut dengan mudah.
Karya tulis semi ilmiah
merupakan sebuah penulisan yang menyajikan fakta dan fiksi dalam satu tulisan
yang ditulis dengan bahasa konkret dan formal, kata-katanya teknis dan didukung
dengan fakta umum yang dapat dibuktikan kebenarannya. Karya tulis ini juga
merupakan sebuah penulisan yang menyajikan fakta dan fiksi dalam satu tulisan
dan penulisannya tidak semiformal tetapi tidak sepenuhnya mengikuti metode
ilmiah yang sintesis-analitis karena sering dimasukkan dalam kary tulis ini.
Karya tulis semi ilmiah biasanya digunakan dalam komik, anekdot, dongeng,
hikayat, novel, roman dan cerpen.
Contoh:
Ada Kecelakaan
Tunggal, Tol Cawang-Bekasi Macet 14 Km
Jakarta - Kemacetan sepanjang 14 km terjadi di Tol
Cikampek dari arah Cawang menuju Bekasi. Kemacetan ini diakibatkan kecelakaan
tunggal yang terjadi di bahu jalan di KM 14.
"Kecelakaan tunggal di tol Cikampek KM 14, terjadi pada sekitar pukul
19.30 WIB. Imbasnya kepadatan terjadi sejak dari Cawang hingga titik
kecelakaan, sepanjang 14 km," ujar petugas Jasamarga Fajar, kepada
detikcom, Jumat (11/10/2013).
Belum ada laporan mengenai jenis kendaraan, kronologis kecelakaan, maupun
korban akibat kecelakaan tunggal tersebut. Fajar melaporkan, jalur sebaliknya
yaitu dari arah Bekasi-Cawang juga mengalami kepadatan dari Cikarang Utama
sampai gerbang Cikunir.
"Karena ada antrean di pintu masuk Cikunir," lanjutnya.
Karya non-ilmiah adalah
karangan yang menyajikan fakta pribadi tentang pengetahuan dan pengalaman dalam
kehidupan sehari-hari, bersifat subyektif, tidak didukung fakta umum, dan
biasanya menggunakan gaya bahasa yang popular atau biasa digunakan (tidak
terlalu formal).
Contoh;
Cerpen Sulialine Adelia
Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas
motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja
atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas
sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang
tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila
yang tidur di sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang
bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan
atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan.
"Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap
rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang
kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh
hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi
perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi
tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna.
Reyna tertawa kecil.
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak
ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah
itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya
saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat
itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di
sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas
meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur
dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak
berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih
perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula
ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul
di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga
cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu
karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya.
Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang
masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh
cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa
menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam
bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke
dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban
berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus
mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna.
Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu.
Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia
memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes
yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda
dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang
untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak
perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa
umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak
hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama
ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?"
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat
berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan
pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di
sini sore hari."
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu.
Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi.
Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak
dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa.
Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan
kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada
rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala
bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi
yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin
menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada
mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya
pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian
saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak
tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun
setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga
suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman
mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar
Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu
lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes
tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai
menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang
menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada.
Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di
antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg
lagi. Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana.
Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap
rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu
angin menutup wajah tirusnya.
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada
rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa
karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan
mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah
aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan
jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman
menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes
untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di
sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas
motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar
dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam
gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan
terkelupas.*